Thursday, April 6, 2017

Tradisi Mbed-mbedan di Desa Adat Semate, Mengwi, Badung.

Hai, apa kabar? semoga selalu dalam keadaan baik, kalian sudah tahu kan tidak sedikit tradisi yang sering dilaksanakan oleh umat Hindu, terutama di Bali, seperti contohnya : tradisi Makepung di Jembrana, Tradisi Perang Pandan di Karangasem, dan banyak tradisi lainnya. Tetapi, dari itu semua ada beberapa tradisi unik yang akan kita bahas nanti, tradisi apakah itu? yuk simak di bawah ini.


Masyarakat yang tinggal di daerah Kapal, tepatnya di Desa Adat Semate, mempercayai mengenai Tradisi yang hampir sama dengan tarik tambang, yang merupakan warisan turun-temurun dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Tradisi yang satu ini diadakan setiap satu tahun sekali, tepatnya pada saat sehari setelah NYEPI atau biasa disebut dengan Ngembak Geni. Konon, Tradisi ini sudah ada sekitaran 1474 Masehi yaitu pada saat melakukan kegiatan melaspas saat berdirinya Pura Kahyangan Tiga Desa Adat Semate.

BACA JUGA : TRADISI PERANG API

Tradisi ini sering disebut dengan Mbed-mbedan. Tradisi Mbed-Mbedan sempat tidak dilaksanakan selamat bertahun-tahun, lalu Tradisi Mbed-mbedan kembali dilaksanakan pada tahun 2011 pada sasih kedasa, tepatnya pada saat Ngembak Geni atau sehari setelah Hari Nyepi. Tradisi ini dilaksanakan guna untuk memohon keselamatan dan anugerah dari Hyang Betara. Dengan menghaturkan upakara berupa daksina suci pada Pura uang menjadi sungsungan di Desa Adat Semate.

Sebelum melaksanakan kegiatan perang ini kembali, para tokoh masyarakat menelusuri kegiatan tersebut, dengan melakukan penelusuran sejarah Desa Adat Semate sampai ke Ahli Lontar di daerah Munggu dan Kapal, Mengwi. Selanjutnya, setelah enam tahun melakukan penelusuran, akhirnya asal usul Desa Adat Semate pun ditemukan dalam Kitab Raja Purana, dengan dikisahkannya yaitu seorang Rasi yang melakukan perjalanan suci ke sebuah hutan angker yang banyak ditumbuhi oleh Kayu Putih.


Rsi tersebut bernama Rsi Mpu Bantas. Di hutan tersebut beliau lalu bertemu dengan para keturunan dari Mpu Gnijaya lalu bertanya "mengapa mereka berada di wilayah hutan yang ditumbuhi kayu putih ini?", lalu keturuanan dari Mpu Gnijaya itu pun menjawab, bahwa mereka berada ditempat iru karena mereka tidak sependapat dengan tindakan dari rajanya. Lalu, karena Rsi Mpu Bantas mengetahui bahwa hutan tersebut angker, maka beliau lantas menyarankan keturunan Mpu Gnijaya untuk membuat tempat pemujaan agar selamat dari marabahaya yang terdapat di hutan tersebut.
Medengar hal tersebut dan beberapa pengarahan dari Rsi Mpu Bantas, keturunan dari Mpu Gnijaya tersebut pun membuat tempat pemujaan. Setelah selesai membuat, orang-orang pun melakukan pertemuan untuk menentukan nama dari Pura tersebut. Tetapi, pertemuan tersebut tidak berlangsung dengan lancar dan terjadilah tarik ulur antara warga yang mengikuti pertemuan tersebut. Setelah beberapa saat dan nama pun belum ditentukan, Rsi Mpu Bantas lalu memberikan saran Nama dari tempat pemujaan tersebut yaitu "Putih Semate", dinamakan demikian karena "Putih" didapat pada kayu-kayu yang tumbuh diwilayah tersebut yang berwarna putih, dan "Semate" diambil karena keturunan dari Mpu Gnijaya telah bersatu di dalam pikiran, serta tidak mau tunduk dengan orang lain.

Setelah kejadian tersebut, tempat pemujaan yang telah menjadi Pura itu dan desa tersebut pun diupacarai pada tahun Çaka 1936. Sebelum Rsi Mpu Bantas meninggalkan Desa Semate, beliau berpesan bahwa "Hai anak-anakku sekalian, Karena dalam mengadakan musyawarah selalu terjadi tarik ulur dalam mengambil suatu keputusan, wajib kalian melakukan upacara Mbed-mbedan setiap tahunnya, yaitu pada sasih kedasa tanggal pisan atau  Sehari setelah nyepi, untuk memohon keselamatan dan anugerah Hyang Betara dengan menhaturkan upakara berupa daksina suci pada Pura yang telah menjadi sungsungan kalian dan lengkap dengan segehan".

Kejadian tarik ulur saat musyawarah tersebut merupakan cikal bakal terjadinya tradisi Mbed-mbedan tersebut, jika dalam bahasa Indonesia berarti "saling Tarik". Tradisi ini selalu diingat dan dilaksanakan untuk menghormati Rsi Mpu Bantas dalam mengambil suatu keputusan. Tradisi Mbed-mbedan ini pertama kali dilaksanakan sekitaran Çaka 1936 atau tepatnya pada 1474 Masehi yaitu saat dilakukan Pemlaspasan berdirinya Pura kahyangan tiga di Desa Adat Semate, Abianbase, Mengwi, Badung. Selanjutnya, tradisi ini sempat ditiadakan hingga puluhan tahun lamanya, dan kemudian dilaksanakan kembali pada tahun 2011 yang bertepatan dengan sasih kedasa, yaitu sehari setelah Hari Nyepi.

Tradisi ini hampir sama dengan sebuah perlombaan tarik tambang, tetapi yang dipakai tidaklah tali tambang, namun batang pohon yang menjalar, masyarakat Semate menyebutnya dengan bun kalot, tumbuhan itu tumbuh di kuburan desa Semate.

Sebelum melakukan Mbed-mbedan, dimulai dengan melakukan persembahyangan di Pura Puseh/Desa. Warga Desa Adat Semate yang terdiri dari 65 KK itu masing-masing membawa sarana upacara berupa tipat bantal untuk dipersembahkan kepada Ida Betara. Peserta yang ikut serta dalam tradisi ini tak hanya diikuti oleh anak muda, orang tua laki-laki maupun perempuan pun ikut serta dalam melakukan Tradisi Mbed-mbedan ini. Tradisi Mbed-mbedan dilakukan di depan Pura tepatnya di jalan Raya Kapal, pada saat melakukan kegiatan Mbed-mbedan ada beberapa warga yang bertugas menggelitik tubuh peserta. Permainan akan selesai dan kelompok yang berhasil menarik tali yang dipegang lawan dinyatakan menang. Demikianlah Sejarah dari Tradisi Mbed-mbedan, semoga dapat menambah wawasan anda dan berguna untuk kedepannya. Terimakasih telah berkujung, dan mohon maaf bila ada kesalahan, jika ada masukan, saran, atau kritik bisa disampaikan melalui kolom komentar dibawah.

0 comments:

Post a Comment

PERHATIAN!!!

SYARAT KOMENTAR :
- Tidak menambahkan link di kolom komentar !.
- Berkomentarlah dengan kata-kata yang baik dan sopan !.
- Berkomentarlah sesuai topik !.